Novel Online; Short Cut for Dating!


Nama Tokoh:


1. Clara Annisa Dzain
2. Robert Xavier Ackerley
3. Ertricko Carter Dakota
4. Glen Alliando
5. Deniam Denham Dakota
5. Gerald Carrington Ackerley
6. Dereck Aladric Mesasc
7. Sehan Leonardo Dakota
8. Areni Keyshawn Niara
Dan masih ada beberapa tokoh lain lagi.



Sinopsis:


Clara Annisa Dzain, adalah seorang gadis sederhana yang rela meninggalkan lingkungannya demi menghindari rasa terlarang. Mungkin, ini hanya masalah waktu. Karena waktu lebih dulu menyatukan Sehan Leonardo Dakota bersama sahabatnya, Areni. Dan hanya karena buku sialan itu, semuanya terbongkar.

Britania Raya, di sana lah Clara sekarang. Ia harus membetingi hati dan fisiknya, sebab setiap hari ia harus berhadapan dengan lingkungan baru. Bahkan, tidak ada teman sesama muslim di Exgham University, tempat ia menimba ilmu saat ini. Ditambah, beberapa sosok pria tampan, kaya dan pintar yang mengelilingi di sana, itu akan menjadi cobaan terhebat dari Maha Kuasa.

Clara, seorang Muslim dengan cadar yang senantiasa membentengi wajahnya. Akankah ia menjatuhkan cintanya pada orang yang tidak tepat, lagi?

Kepada seorang pria bermata abu-abu yang suka berkeliaran di Club Malam, atau pada seorang pria pemilik Bugatti Veyron yang dingin, sombong dan selalu memandang rendah Clara, atau justru kembali haluan pada Sehan Leonardo Dakota?


©® by Wattpad 2019, ingat! Dilarang memplagiat. Karya ini dilindungi UUD.




(Short Cut For Dating)


PART 1 


**Tentang Iris dan Buku Merah Muda**

------

*Author POV*

Clara, mungkin banyak pelajaran hidup yang ia dapat. Gadis itu, memang bisa dikatakan berkecukupan. Namun sikapnya amat pendiam, itulah yang membuat ia sedikit punya teman. Banyak yang mencibir penampilannya, kemudian menaruh curiga karena 2 layer kain yang menutupi hidung hingga mulutnya. Namun karena itu pula, banyak yang menaruh kagum diam-diam. Banyak pasang mata yang tidak berani mendekatinya, terutama kaum Adam.

Di sisi lain, Clara sendiri punya pribadi menyenangkan. Meski ia tahu, tidak semua orang bisa merespons seperti apa yang ia taburkan. Ia tidak segan-segan tersenyum meski hanya untuk menanggapi kicauan-kicauan buruk dari orang lain. Ia sudah terbiasa diintimidasi sebagai orang jahat, padahal untuk membunuh nyamuk pun, kadang ia tidak tega. 

Benar, ia sangat unik. Jika tadi kubilang ia tidak kuasa membunuh nyamuk, namun ia bisa membunuh lawan bicaranya hanya dengan tatapan mata. Sebab, matanya sangat indah dan menghunus hati, kelopaknya panjang, dan yang paling memukau adalah iris mata yang hitam pekat dan besar. Tidak, tentu ia tidak memakai lensa kontak. Banyak yang mengakui jika hanya melihat lirikannya, maka akan menghadirkan rasa takjub.

Samira, ibu dari Clara. Ia sempat memperingatkan gadis satu-satunya itu.
“Jaga matamu, Sayang. Kau akan menggoda banyak Pria.” Ucapnya yang terdengar seperti ledekkan. Tapi bukan Samira jika hanya bergurau tanpa berniat menasihati.

“Mama selalu bilang begitu. Bahkan aku tidak tahu apa maksud Mama sebenarnya.” Balas gadis yang baru saja menutup cadarnya kembali, lalu tampak mengunyah.

Samira tertawa kecil sebentar, “Matamu itu mampu menusuk siapa saja lawan bicaramu,” Kali ia Samira terkekeh cukup keras, “Jadi, jangan coba-coba menatap lama-lama mata seseorang, karena..,”

“Karena selain dosa, lawan bicaraku juga bisa mati.” Kini Clara yang gantian terkekeh. Bagaimana bisa tatapan bisa selayaknya pedang? Menusuk, katanya?

Mata Samira terbelalak lalu kembali terkekeh, “Jangan sekejam itu dalam berucap, Sayang. Menusuk itu, bisa diartikan memberikan sengatan listrik ke hati lawan bicaramu.”

“Apa mataku se-mengerikan itu, Ma?” Wajah Clara berubah sendu, ia bahkan tidak bisa menilai bentuk matanya sendiri. Menurutnya, sama saja dengan wanita lain.

“Bukan mengerikan, tapi malah indah!” Samira menjawabnya dengan santai. Memperhatikan raut gadisnya, ia berpikir jika pipi itu tidak ditutupi, pasti sekarang sudah merona.

Clara tertunduk, ah, gadis ini memang mudah baper, meski ia pandai bicara, meski itu terkadang, tapi tidak menutup kemungkinan pula hatinya mudah terenyuh. Apalagi selama beberapa hari ini, ada yang mengusik ketenangan pikirannya, sebuah siratan yang ia sendiri bingung untuk mengartikannya. Yang jelas, ia tahu, hal itu sangat salah. Sangat-sangat salah.

Clara terbiasa menghabiskan waktunya untuk membaca buku, menonton video dan mendengarkan suara emas Muhammad Tarek. Tentu aktivitas-aktivitas tersebut di luar kewajibannya dalam beribadah. Banyak yang gadis itu sembunyikan. Tidak, bukan berarti ia tertutup. Ia hanya pandai dalam menyembunyikan perasaan. Banyak keteduhan yang akan ditampilkannya lewat iris indah itu; tersenyum, tertawa dan `terlihat` bahagia. Ia merasa enggan untuk menampilkan suasana hati yang sesungguhnya, karena menurutnya, setiap orang punya beban hidup.

Banyak juga orang yang mempermasalahkan penampilannya. Karena dengar-dengar, selain memiliki rambut yang indah, gadis itu juga punya lesung pipi. Aw! Bahkan, ia sempat menanggalkan cita-cita masa kecilnya; menjadi Model Sexy Papan Atas!
Kini, semuanya sudah berubah. Bahkan sejengkal pun, ia tidak lagi memperlihatkan lekuk indahnya, tidak sehelai pun rambut ia perlihatkan dengan sengaja. 

“Oh, sekarang jadi kayak gini modelnya?” Ucap Lesti yang merupakan tetangga sekaligus teman dekat. Mereka belum menjadi sahabat, karena tidak pernah terbuka satu sama lain. “Model Jubah kalau ini mah!” Tawanya terlepas.

Clara berdecih dan mengirim lirikan tajam, “Ish, ini pun masih kelihatan cantik, kan? Nggak apa-apa lah ya, masih bisa jadi model buat Mama.” Jawabnya asal.

Gadis Indonesia asli di depannya makin terpingkal.
“Ow, manis sekali. Jadi, cuma Mamamu yang bisa mencicipi pemandangan itu, ya?” Godanya dengan menaik-turunkan alis.

Beda lagi, kini mata Clara sudah membulat sempurna, ia kaget sekaligus geram dengan ucapan Lesti.

Lesti masih tertawa, entah lah apa yang lucu.
“Lam-lama, bisa makin putih tuh kulit.” Tukasnya lagi, masih dengan terkikik.

“Ohh, ayolah, Girl! Ini bukan semata-mata biar putih saja, tentu biar enggak belang juga.” Lagi-lagi, Clara menjawab asal.

Lesti menganga, lalu sedetik kemudian ia tertawa lagi.
“Jadi, alternatif perawatan gratis nih ye!!!”

“Ck, bisa dibilang begitu. Tapi itu bukan poin utamanya!” Ucapnya sarkas, namun Lesti tahu jika tetangganya itu tidak benar-benar marah.

“Jadi, sebutkan poin utamanya, boleh?”

“Mmm, baiklah.” Jawabnya dengan tatapan memuja bunga mawar di seberangnya, ia siap merangkai beberapa kata-kata pilihan, “Aku ingin berubah.”

“Jadi Ninja?” Cerocos Lesti lagi. 

Ingin rasanya Clara menimpuk wajah menyebalkan itu. 
“Terserah apa katamu.”

“Oke, oke, maafkan aku. Gimana-gimana?” Lesti sudah meredakan tawanya, wajahnya pun sedikit serius, meski masih tampak mengejek.

“Aku hanya menutupi apa yang seharusnya kututupi. Bukan inginku, ini perintah Allah-ku. Entah dosa apa yang kudapat jika benar kesampaian, hampir saja aku menampilkan perhiasanku di hadapan kamera.”

Lesti tersentak, ya, Clara memang sempat ingin menjadi model. Tapi. Bukan itu yang mengusik hatinya. Tentang suatu hal lain yang diucapkan Clara.
“Bukankah Tuhan kita sama? Perintah untukmu, juga perintah untukku, kan?” Tanya gadis itu ragu-ragu. Sebesit ketakutan tampak menelungkup wajah manisnya.

Clara mengangguk pelan dan mengisyaratkan senyum hingga ke matanya.

Melihat itu, Lesti hanya mengulum bibir bawahnya. Ia tercubit, sangat-sangat tercubit.


*Clara POV*

Akhir-akhir ini, aku merasa kesepian. Jauh dari lubuk hatiku, aku menginginkan seseorang yang lebih dari Mama. Aku tahu, Mama sudah berusaha menjadi ibu, teman sekaligus sahabat bagiku. Tapi, tidak semuanya bisa dengan lepas kututurkan kepadanya. Ia.., ia jelas-jelas berbeda. Ya, Mama akan sangat kecewa jika ia tahu apa yang telah kulakukan. 

Sebenarnya, aku tidak melakukan apa-apa. Namun, tingkah Areni telah membuktikan bahwa aku sudah melakukan kesalahan besar kepadanya. Aku tidak tahu bagaimana nasibku kelak, aku tidak mungkin kehilangan sahabat kecilku. Ya, Areni adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Mungkin jika ukuran teman, aku punya banyak. Aku menyayanginya, sangat. Bahkan ketika ia mendiamkanku beberapa hari ini, batinku begitu sakit.

Aku kembali mengulang ucapanku, pantas jika Areni malas menatapku. Tapi paling tidak, aku ingin ia menganggap aku ada, tidak harus begini, kan?
“Ar...,” Suaraku semakin lirih. Ini hukuman yang sangat pantas buatku. Meski, aku tidak berniat melakukannya. 

“Pergilah, Clara. Aku tidak punya jawaban dari pertanyaanmu.” Areni membuang muka. Bahkan aku sama sekali tidak bisa melihat kilat matanya. Yang aku tahu, ia benar-benar menghindariku. 

“Maafkan aku, jika memang aku bersalah.” Kataku kemudian, kakiku sudah lelah menopang tubuh dari tadi. Aku ingin pergi ke taman saja. 

Entah karena mendengar ucapanku, atau karena memang ia ingin berdiri, Areni tiba-tiba meraih jemariku. Pipiku menyemu merah, hatiku seperti diterpa semilir angin.
“Ar...,” Dengan cepat aku membalik wajah, menatapnya. Ternyata, tidak seperti yang kupikirkan.

“Kamu bilang ‘jika? Kamu ini benar-benar sudah keterlaluan! Ya, dalam hal apa pun kamu memang lebih baik. Tapi bukan dengan itu kamu lalu bisa merebut Sehan!” Jelas, ada gurat api di matanya. Bibirnya gemeletuk. Aku tidak pernah melihat Areni semurka ini. 

“Apa kamu pernah melihatku bersamanya? Tidak, kan!” Kali ini aku mulai meninggikan suaraku. Jujur, sebenarnya aku tidak tahu atas apa ia menjauhiku, menyimpulkan bahwa aku telah merebut kekasihnya. 

“Tapi terang-terangan kamu menulis pada buku harian Pink sialan, ha! Kamu bilang, kamu suka padanya, kamu berharap bertemu dia lebih dulu daripada aku kan, ha! Jika dia mau, dia akan menatapmu! Nyatanya?” Ada suara jijik dalam ucapannya. Yah, sekarang aku tahu, ia sudah membaca bukuku. Aku memang sempat menulis sesuatu yang tidak seharusnya aku tulis. 

“A, aku...,” Bulir di mataku mulai tumpah, bibirku kaku. Kuberanikan diri menatap Areni lagi, “Aku, aku hanya berusaha jujur saat menulisnya. Tapi sedikit pun, aku tidak pernah berniat memisahkan kalian.”

---


Mau baca Part selanjutnya?




No comments

Powered by Blogger.